Belalang pun sepertinya suntuk menunggu hari ini berlalu.
Gemuruh awan mendung terdengar dari kejauhan namun tak kunjung hujan.
Di atas kepalaku dedaunan menari,
tertiup angin yang tak membawa kabar seperti biasanya.
Termenung aku melihat belalang itu.
Tak banyak yang ku tahu darinya, tapi yang ku tahu mereka kini tak banyak.
Aku pun ikut suntuk.
Ku luruskan kaki yang tertekuk sejak tadi, ku ambil sebuah kerikil,
ku lempar pada belalang itu.
Melambung dan mendarat pada dahan,
sama sekali tak mendekati dimana sang belalang bersahaja.
Namun belalang itu tetap terbang, dan aku pun kini sendiri.
Tanganku terkulai lemas, telapaknya menengadah ke atas.
Kerut-kerutnya terisi tanah yang mengering.
Lantas ku alihkan pandangku ke kejauhan,
yang ku lihat hanya tanah tak berpenghuni.
Rumput-rumput liar mulai tumbuh disekitarnya,
sudah tak ada lagi yang bisa dituai.
Musim berganti, ku tak beranjak untuk mulai menebar benih.
Aku rindu hijau padi yang baru tumbuh.
Aku rindu bulir-bulir beras yang muncul dan kian menguning seiring hari berganti.
Aku rindu menarik tali-tali ini, yang terhubung dengan orang-orangan sawah,
dengan kostum yang kini tak jauh beda denganku.
Aku rindu duduk di gubuk kecil bersama anakku sepulang ia sekolah dulu.
Sama-sama menghabiskan waktu berbincang sambil menyantap
santapan siang buatan istriku.
Gemuruh kembali membuyarkan lamunan,
tetes air hujan mulai basahi tanah.
Basahi kerut-kerut tanganku, buat hatiku kian bimbang.
Aku tidak bisa lagi diam disini. Semua itu bukan milikku lagi,
semua itu harus ku relakan.
Ku biarkan semuanya jadi rupiah,
untuk membeli pendidikan bagi benih masa depan.
Engkau anakku kian beranjak dewasa,
kini berteman dengan dunia yang sarat arus globalisasi.
Akankah kau bertahan nak?
Akankah kau kembali dengan menyandang gelar sarjana?
Hanya engkaulah harapan ayah.
Andrianus Pandu S.
Kanit Penelitian.